Gunung Padang

| Sabtu, 17 Agustus 2013
PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
            Pada masa bercocok tanam, manusia prasejarah mempunyai ciri khas dengan mengikuti perkembangan penemuan-penemuan barunya.  Pada masa ini, manusia prasejarah mulai berpikir bahwa tanah merupakan salah satu unsur dari kehidupan.  Sehingga mereka berpikir akan ada alam-kehidupan sedudah mati. Kepercayaan mereka bahwa arwah seseorang tidak akan lenyap pada saat orang meninggal, sangat mempengaruhi jalan kehidupan. Setiap arwah memiliki kelajutan dalam wujud-wujud arwahaninya.
            Kematian dianggap tidak membawa perubahan status pada seseorang. Bila seseorang bermartabat rendah maka ia akan tetap dianggap rendah juga statusnya di masyarakat maupun di akhirat. Sedangkan seseorang yang mempunyai status tinggi (terkemuka atau mempunyai jasa yang besar) maka ia akan mendapat khusus di alam baka. Akan tetapi ada juga yang beranggapan bahwa dengan mengadakan pesta-pesta tertentu akan menambahkan jasa, amal ataupun kebaikan mereka. Pesta-pesta yang dimaksud ialah dengan mendirikan bangunan-bangunan berupa batu besar. Pada pesta ini si mati ditempatkan di dalam tempat yang direka dengan batu-batuan besar seperti batu tegak yang mengelilinginya dengan hiasan berukir maupun lukisan yang melambangkan kehidupan si mati dan masyarakatnya. Batu-batu besar ini juga dianggap sebagai pelindung tingkat budi baik seseorang.
            Pendirian bangunan-bangunan besar ini disebut juga tradisi Megalitik. Megalitik berasal dari kata mega yang berarti besar dan lithos yang berarti batu. Tradisi ini selalu berdasarkan kepercayaan akan adanya hubungan antara yang hidup dan mati. Hal ini berdasarkan adanya pengaruh kuat dari yang mati terhadap kesburan tanaman dan kesejahteraan masyarakat. telah dikatakan bahwa jasad si mati dipusatkan pada bangunan-bangunan batu besar yang didirikan, kemudian batu besar ini digunakan sebagi media penghormatan. Bangunan-bangunan Megalitik tersebar hampir di seluruh kepulauan Indonesia. Bentuk bangunannya bermacam-macam, ada yang berupa kelompok maupun berdiri sendiri.  Telah dikatakan maksud utama dari pendirian bangunan ini adalah untuk mengharapkan kesejahteraan bagi yang masih hidup dan mendapat kesempurnaan bagi si mati. Biasanya bentuk-bentuk tempat penguburan dapat berupa dolmen, sarkofagus, kalamba, waruga, dan lain-lain. Pada  tempat penguburan tersebut biasanya terdapat beberapa bentuk batu besar, seperti mehir, batu dakon, patung nenek moyang, dan yang lainnya.
            Salah satu peninggalan megalitik di Indonesia dapat dijumpai di provinsi Jawa Barat, yakni di Situs Gunung Padang. Situs Gunung Padang berada di perbatasan Dusun Gunungpadang dan Panggulan, Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur. Situs ini merupakan kompleks punden berundak yang terdiri dari sekumpulan menhir terbesar di Asia Tenggara dengan luas 3 ha. Menurut Plato Indonesia merupakan Atlantis yang hilang, Situs Gunung Padang dianggap sebagai tinggalan Atlantis karena berasal dari 11 ribu tahun silam, Pendapat Plato ini di dukung oleh Arysio Santos yang mengeluarkan buku mengenai Indonesia merupakan Atlantis yang hilang dan berada di tanah Sunda. Dengan adanya argumen tersebut menyebabkan peneliti khususnya arkeolog di Indonesia ingin membuktikan kebenaran argumen Plato dan Arysio Santos.
            Walaupun begitu, banyak diantara arkeolog menggunakan metode penelitian tidak sesuai dengan kode etik yang sudah ditetapkan. Terkadang seorang arkeolog hanya mementingkan egoisme demi mendapatkan jawaban dari permasalahan yang dibuat. Salah satunya terjadi di Situs Gunung Padang.

1. 2 Rumusan Masalah
Berdasarkan makalah yang akan ditulis oleh penulis tentang kontrovesi kode etik arkeologi, studi kasus: Situs Gunung Padang, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut;
1.      Apakah kode etik arkeologi sudah benar-benar diterapkan pada penelitian arkeologi ataupun penelitian yang masih melibatkan bidang arkeologi?
2.      Bagaimana kode etik arkeologi diterapkan pada penelitian arkeologi ataupun penelitian yang masih melibatkan bidang arkeologi?


PEMBAHASAN
            Situs Gunung Padang merupakan situs megalitik dengan kompleks punden berundaknya. Dengan area yang luas dan banyaknya tinggalan arkeologis menyebabkan Situs Gunung Padang menjadi sorotan utama dari beberapa peneliti. Apalagi dengan adanya buku yang dikarang oleh Arysio Santos yang  membuat peneliti khususnya arkeolog untuk meneliti lebih luas.
            Awal penelitian Situs Gunung Padang berawal dari Tim Katastropik purba yang meneliti tentang kebencanaan dan menemukan bahwa sesar Cimandiri dan sesar lembang masih aktif. Dengan adanya data tersebut, Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana Andi Arief membentuk Tim Terpadu Penelitian Mandiri Gunung Padang yang terdiri dari Dr. Ali Akbar selaku perwakilan dari arkeologi, Dr. Andang Bachtiar seorang pakar paleosedimentologi, Dr. Budianto Ontowirjo memimpin penelitian sipil struktur, dan Pon Purajatnika, M.Sc., memimpin penelitian bidang arsitektur dan kewilayahan. Penelitian ini berfokus pada pembuktian Situs Gunung Padang adalah piramid. Hal ini didasarkan pada temuan struktur yang ada pada Situs Gunung Padang.
            Sebagaimana diketahui bahwa Situs Gunung Padang masuk ke dalam zonasi nasional. Sebelum melakukan penelitian dan penggalian tentunya harus ada izin kepada pemerintah daerah setempat. Karena Situs Gunung Padang terletak pada wilayah kabupaten, maka kepala daerah kabupaten harus mengetahui penelitian yang diadakan. Dalam Undang-Undang Cagar Budaya no.11 tahun 2010 pasal 72 butir 2 disebutkan bahwa, “Perlindungan Cagar Budaya dilakukan melalui sistem zonasi yang ditetapkan oleh Bupati/wali kota sesuai dengan keluasan situs Cagar Budaya atau Kawasan Cagar Budaya di wilayah Kabupaten/kota”. Akan tetapi kenyataannya penelitian tersebut masih bersifat belum jelas karena Bupati Cianjur, Tjetjep Muchtar Soleh, belum mengetahui soal izin penelitian dan penggalian Situs Gunung Padang (http://www.tempo.com). Tentunya sebagai arkeolog, sangatlah penting untuk melakukan perizinan terlebih dahulu sebelum melakukan penelitian dan penggalian. Di dalam kode etik arkeologi pasal 1 butir 1 disebutkan bahwa, “Seorang ahli arkeologi Indonesia harus senantiasa menjunjung tinggi dan menjaga integritas keilmuannya”. Artinya seorang arkeolog harus mengetahui sistemaika penelitian yang sudah ditetapkan dalam arkeologi, baik itu dimulai dari perizinan hingga publikasi. Bila seorang arkeolog tidak mengindahkan sistematika yang ada, maka akan dipertanyakan ilmu yang dimilikinya. Selai itu dalam kode etik arkeologi pasal 2 butir 3 disebutkan bahwa, “Seorang ahli arkeologi Indonesia harus patuh kepada ketentuan perundang-undangan yang berlaku mengenai pengelolaan warisan budaya”. Artinya seorang arkeolog harus menaati prosedur yang ditetapkan dalm undang-undang mulai dari perizinan terhadap pemerintah yang mengelola situs tersebut. Bila seorang arkeolog tidak mematuhi ketentuan perundang-undangan maka ia akan dikenakan sanksi yang termuat dalam undang-undang seperti yang termuat dalam Undang-Undang no.11 tahun 2010 pasal 103. Dengan demikian perizinan melakukan penelitian dan penggalian Situs Gunung Padang perlu ditanyakan keabsahan perizinan tersebut.
            Selain belum dilihat oleh Bupati Cianjur, budyawan dan aktivis lingkungan pun menghimbau agar kegiatan penggalian dihentikan karena dianggap tidak melibatkan warga, seniman, ataupun budayawan mengenai arah dan tujuan penggalian ini. Padahal di dalam kode etik arekologi pasal 3 butir 4 disebutkan bahwa, “seorang ahli arkeologi ikut akitf bersama-sama dengan anggota masyarakat lainnya untuk menjaga pelestarian dan pemanfaatan warisan budaya". Artinya seroang arkeolog harus melibatkan masyarakat dalam penelitian baik itu sebagai objek karena walau bagaimanapun situs tersebut dijaga oleh masyarakat sekitar situs. Tanpa adanya mereka, Situs Gunung Padang belum tentu dapat terawat. Oleh sebab itu, perlunya pendekatan terhadap masyarakat sekitar situs agar tidak terjadi ketidakjelasan antar kedua belah pihak. Bila perlu melibatkan langsung masyarakat dalam pemanfaatan Situs Gunung Padang dengan cara menghormati pendapat masyarakat dengan tetap berpegang teguh pada kaidah pengelolaan sumber daya arkeologi.
            Walau keabsahan mengenai perizinan belum jelas, Dr. Ali Akbar beserta tim penelitinya tetap melakukan penelitian dan penggalian. Hal yang dilakukan terlebih dahulu yakni melakukan pemetaan geologis, menggunakan georadar dan geothermal. Dari hasil tes tersebut di dapat adanya struktur bangunan. Berawal dari hipotesa awal mengenai adanya temuan strutur bangunan tersebut, akhrinya Dr. Ali Akbar beserta tim peneliti lainnya melakukan pengboran terhadap Situs Gunung Padang. Hal yang dilakukan oleh Dr. Ali Akbar selaku arkeolog sudah seseuai maupun tidak sesuai terhadap kode etik arkeologi pasal 4 mengenai tanggung jawab terhadap teman sejawat. Dikatakan sesuai dengan kode etik pasal 4 karena di dalam pasal 4 butir disebutkan bahwa, “Seorang ahli arkeologi Indonesia harus bersikap toleran kepada arkeolog dan ahli ilmu lainnya”. Bila melihat proses penelitian yang dilakukan oleh Dr. Ali Akbar, beliau menjalin kerjasama dengan ahli-ahli lain di luar bidang arkeologi pada timnya, seperti ahli sipil, paleosedimentologi, geologi, dan lain-lain. Dr. Ali Akbar beserta timnya saling bertoleransi dengan menggunakan keahlian masing-masing serta metode yang sesuai dengan bidang ilmunya demi mendapatkan tujuan dari penelitian. Dikatakan tidak sesuai karena metode yang digunakan Dr. Ali Akbar berserta timnya dianggap tidak seeuai. Di dalam surat kabar online, arkeolog UGM, Daud Aris Tanudirjo, meragukan pemakaian bor dalam proses penelitian Tim Terpadu Penelitian Mandiri Gunung Padang karena hasil penelitian arkeologis dengan metode penggalian terkadang masih meleset (http://oase.kompas.com). Selain itu, Peneliti Senior Arkeologi Nasional, Trauman Simanjuntak, mendukung pernyataan yang disebutkan oleh Daud. Mengenai adanya balok-balok batu prismatik bisa jadi karena sengaja disusun manusia untuk tempat persembahan. Sedangkan proses pembentukan batu kekar kolam di Gunung Padang memang alamiah. Artinya Gunung Padang yang dianggap memiliki struktur bangungan seperti piramida tersebut tidak benar (http://oase.kompas.com). Melihat dua pernyataan tersebut maka dapat diketahui bahwa Dr. Ali Akbar sebagai seorang arkeolog seharusnya menghargai pendapat teman seprofesinya. Seharusnya beliau dapat menerapkan kode etik arkeologi pasal 1 butir 4 menegenai menghargai kebenaran ilmiah tanpa memandang siapa yang menyatakannya. Bila beliau tidak mengindahkan pernyataan tersebut maka sanksi yang diterima bisa saja sanksi sosial. Artinya beliau bisa tidak diikutsertakan dalam acara-acara arkeologi. Selain mendapat sanksi sosial, beliau beserta timnya bisa saja dapat dikenai sanksi mengenai sengaja merusak Cagar Budaya karena keabsahan perizinannya pun belum jelas. Sanksi yang dikenakan sesuai dengan UU no.11 tahun 2010 pasal 105. Selain itu menurut Daud, penelitian Situs Gunung Padang jangan hanya pada bidang-bidang ilmu tertentu, perlu bidang ilmu lainnya agar mendukung kebenaran dari tujuan penelitian. Menurut beliau, kelemahan akademis maupun pemerintah terletak pada ego sektoralnya, artinya hanya mementingkan kepentingan sendiri atau kelompok tertentu dibandingkan dengan kepentingan orang banyak (http://radarsukabumi.com). Tentunya hal ini harus disesuaikan dengan kode etik arkeologi pasal 4 butir 4 mengenai tangngung jawab terhadap teman sejawat yang disebutkan bahwa, “ Seorang ahli arkeologi Indonesia harus mengutamakan kepentingan profesi dibandingkan dengan kepentingan pribadi.”
            Walaupun begitu Dr. Ali Akbar masih melaksanakaan kode etik arkeologi yang telah ditentukan seperti kode etik arkeologi pasal 6 butir 1 disebutkan bahwa, “Seorang ahli arkeologi Indonesia harus memaparkan secara jujur kualifikasi dan kemampuannya dalam melasanakan pekerjaannya”. Artinya beliau sanggup melaksanankan tugas yang diberi sesuai dengan kemampuannya, hal ini dapat dilihat pada keseriusan beliau meneliti Situs Gunung Padang walau banyak yang menentang beliau. Akan tetapi, seharusnya Dr. Ali Akbar tidak seharusnya langsung menyetujui bahwa struktur bangunan yang berada di Situs Gunung Padang tersebut ialah bangunan piramid karena dalam kode etik arkeologi pasal 6 butir 3 disebutkan bahwa, “Seorang ahli arkeologi Indonesia harus dapat mempertahankan prinsip kebenaran ilmiah tanpa intervensi penyandang dana”. Secara tersirat dana yang diberikan digunakan untuk membenarkan adanya keberadaan piramid di Gunung Padang. Tentunya hal ini seharusnya tidak diperbolehkan karena sesuatu yang belum tentu kebenaranya seharusnya diteliti dengan sungguh-sungguh bukan untuk membenarkan sesuatu tersebut.
            Bila hal ini terus menerus terjadi maka dapat dikenakan sanksi mengenai kode etik arkeologi yang akan diserahkan pada Majelis kode etik AAI yang sesuai dengan pasal 7 butir 2.

















           









KESIMPULAN
            Indonesia merupakan kaya akan peninggalan megalitiknya. Salah satu peninggalan megalitik tersubut berada di Jawa Barat, yakni Situs Gunung Padang. Situs Gunung Padang merupakan kompleks punden berundak yang akhir-akhir ini dikaitkan pada piramid. Hal tersebutlah yang membuat para peneliti khusunya arkeologi ingin meneliti kebenaran mengenai isu tersebut.
            Sebelum penelitian berlangsung, harusnya seorangn arkeolog memperhatikan kode etik arkeologi yang berlaku. Pada kasus Situs Gunung Padang terjadi pro dan kontra terhadap penelitian yang berlangsung. Dikatakan pro dan kontra karena tidak sesuai dengan sistematika penelitian yang ada, begitupula metode yang digunakan dianggap tidak sesuai oleh beberapa arkeolog lainnya. Walaupun ada beberapa metode yang dianggap sesuai dengan penelitian arkeologi. Selain itu, pada penerapannya arkeolog yang meneleti Situs Gung Padang tidak begitu menerapkan kode etik arkeologi. Hal itu terbukti dengan adanya pelanggaran yang tersirat pada sebelum peneleitian, proses penelitian, dan sesudah penelitian yang dilakukan.
            Guna mengantisipasi hal tersebut terjadi lagi, kode etik arkeologi perlu direnungkan lagi agar benar-benar dapat diterapkan. Selain itu, faktor egoisme dalam mementingkan kepentingan pribadi harus dihindari agar kode etik arekologi tersebut dapat diterapkan dengan baik.










DAFTAR PUSTAKA
Sumber web:
http://radarsukabumi.com : Sabtu, 20 April 2013

Sumber Pustaka:
UU No. 11 Tahun 2010

Catatan Kode Etik Arkeologi 2013

0 komentar:

Posting Komentar

Prev
▲Top▲