PENDAHULUAN
1.
1 Latar Belakang
Pada masa bercocok tanam, manusia
prasejarah mempunyai ciri khas dengan mengikuti perkembangan penemuan-penemuan
barunya. Pada masa ini, manusia
prasejarah mulai berpikir bahwa tanah merupakan salah satu unsur dari kehidupan. Sehingga mereka berpikir akan ada
alam-kehidupan sedudah mati. Kepercayaan mereka bahwa arwah seseorang tidak
akan lenyap pada saat orang meninggal, sangat mempengaruhi jalan kehidupan.
Setiap arwah memiliki kelajutan dalam wujud-wujud arwahaninya.
Kematian dianggap tidak membawa
perubahan status pada seseorang. Bila seseorang bermartabat rendah maka ia akan
tetap dianggap rendah juga statusnya di masyarakat maupun di akhirat. Sedangkan
seseorang yang mempunyai status tinggi (terkemuka atau mempunyai jasa yang
besar) maka ia akan mendapat khusus di alam baka. Akan tetapi ada juga yang
beranggapan bahwa dengan mengadakan pesta-pesta tertentu akan menambahkan jasa,
amal ataupun kebaikan mereka. Pesta-pesta yang dimaksud ialah dengan mendirikan
bangunan-bangunan berupa batu besar. Pada pesta ini si mati ditempatkan di
dalam tempat yang direka dengan batu-batuan besar seperti batu tegak yang
mengelilinginya dengan hiasan berukir maupun lukisan yang melambangkan
kehidupan si mati dan masyarakatnya. Batu-batu besar ini juga dianggap sebagai
pelindung tingkat budi baik seseorang.
Pendirian bangunan-bangunan besar
ini disebut juga tradisi Megalitik. Megalitik berasal dari kata mega yang berarti besar dan lithos yang berarti batu. Tradisi ini
selalu berdasarkan kepercayaan akan adanya hubungan antara yang hidup dan mati.
Hal ini berdasarkan adanya pengaruh kuat dari yang mati terhadap kesburan
tanaman dan kesejahteraan masyarakat. telah dikatakan bahwa jasad si mati
dipusatkan pada bangunan-bangunan batu besar yang didirikan, kemudian batu
besar ini digunakan sebagi media penghormatan. Bangunan-bangunan Megalitik
tersebar hampir di seluruh kepulauan Indonesia. Bentuk bangunannya
bermacam-macam, ada yang berupa kelompok maupun berdiri sendiri. Telah dikatakan maksud utama dari pendirian
bangunan ini adalah untuk mengharapkan kesejahteraan bagi yang masih hidup dan
mendapat kesempurnaan bagi si mati. Biasanya bentuk-bentuk tempat penguburan
dapat berupa dolmen, sarkofagus, kalamba, waruga, dan lain-lain. Pada tempat penguburan tersebut biasanya terdapat
beberapa bentuk batu besar, seperti mehir, batu dakon, patung nenek moyang, dan
yang lainnya.
Salah satu peninggalan megalitik di
Indonesia dapat dijumpai di provinsi Jawa Barat, yakni di Situs Gunung Padang. Situs
Gunung Padang berada di perbatasan Dusun Gunungpadang dan Panggulan, Desa
Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur. Situs ini merupakan kompleks
punden berundak yang terdiri dari sekumpulan menhir terbesar di Asia Tenggara
dengan luas 3 ha. Menurut Plato Indonesia merupakan Atlantis yang hilang, Situs
Gunung Padang dianggap sebagai tinggalan Atlantis karena berasal dari 11 ribu
tahun silam, Pendapat Plato ini di dukung oleh Arysio Santos
yang mengeluarkan buku mengenai Indonesia merupakan Atlantis yang hilang dan
berada di tanah Sunda. Dengan adanya argumen tersebut menyebabkan peneliti
khususnya arkeolog di Indonesia ingin membuktikan kebenaran argumen Plato dan
Arysio Santos.
Walaupun begitu, banyak diantara
arkeolog menggunakan metode penelitian tidak sesuai dengan kode etik yang sudah
ditetapkan. Terkadang seorang arkeolog hanya mementingkan egoisme demi
mendapatkan jawaban dari permasalahan yang dibuat. Salah satunya terjadi di Situs
Gunung Padang.
1. 2 Rumusan Masalah
Berdasarkan makalah yang akan
ditulis oleh penulis tentang kontrovesi kode etik arkeologi, studi kasus: Situs
Gunung Padang, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut;
1. Apakah
kode etik arkeologi sudah benar-benar diterapkan pada penelitian arkeologi
ataupun penelitian yang masih melibatkan bidang arkeologi?
2. Bagaimana
kode etik arkeologi diterapkan pada penelitian arkeologi ataupun penelitian
yang masih melibatkan bidang arkeologi?
PEMBAHASAN
Situs Gunung Padang merupakan situs
megalitik dengan kompleks punden berundaknya. Dengan area yang luas dan
banyaknya tinggalan arkeologis menyebabkan Situs Gunung Padang menjadi sorotan
utama dari beberapa peneliti. Apalagi dengan adanya buku yang dikarang oleh Arysio Santos yang
membuat peneliti khususnya arkeolog untuk meneliti lebih luas.
Awal penelitian Situs Gunung Padang
berawal dari Tim Katastropik purba yang meneliti tentang kebencanaan dan
menemukan bahwa sesar Cimandiri dan sesar lembang masih aktif. Dengan adanya
data tersebut, Staf Khusus
Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana Andi Arief membentuk Tim
Terpadu Penelitian Mandiri Gunung Padang yang terdiri dari Dr. Ali Akbar selaku
perwakilan dari arkeologi, Dr. Andang Bachtiar seorang pakar
paleosedimentologi, Dr. Budianto Ontowirjo memimpin
penelitian sipil struktur, dan Pon Purajatnika, M.Sc., memimpin penelitian bidang
arsitektur dan kewilayahan. Penelitian ini berfokus pada pembuktian Situs
Gunung Padang adalah piramid. Hal ini didasarkan pada temuan struktur yang ada
pada Situs Gunung Padang.
Sebagaimana
diketahui bahwa Situs Gunung Padang masuk ke dalam zonasi nasional. Sebelum
melakukan penelitian dan penggalian tentunya harus ada izin kepada pemerintah
daerah setempat. Karena Situs Gunung Padang terletak pada wilayah kabupaten,
maka kepala daerah kabupaten harus mengetahui penelitian yang diadakan. Dalam
Undang-Undang Cagar Budaya no.11 tahun 2010 pasal 72 butir 2 disebutkan bahwa,
“Perlindungan Cagar Budaya dilakukan melalui sistem zonasi yang ditetapkan oleh
Bupati/wali kota sesuai dengan keluasan situs Cagar Budaya atau Kawasan Cagar
Budaya di wilayah Kabupaten/kota”. Akan tetapi kenyataannya penelitian tersebut
masih bersifat belum jelas karena Bupati Cianjur, Tjetjep Muchtar Soleh, belum mengetahui soal izin penelitian
dan penggalian Situs Gunung Padang (http://www.tempo.com). Tentunya sebagai
arkeolog, sangatlah penting untuk melakukan perizinan terlebih dahulu sebelum
melakukan penelitian dan penggalian. Di dalam kode etik arkeologi pasal 1 butir
1 disebutkan bahwa, “Seorang ahli arkeologi Indonesia harus senantiasa
menjunjung tinggi dan menjaga integritas keilmuannya”. Artinya seorang arkeolog
harus mengetahui sistemaika penelitian yang sudah ditetapkan dalam arkeologi,
baik itu dimulai dari perizinan hingga publikasi. Bila seorang arkeolog tidak
mengindahkan sistematika yang ada, maka akan dipertanyakan ilmu yang
dimilikinya. Selai itu dalam kode etik arkeologi pasal 2 butir 3 disebutkan
bahwa, “Seorang ahli arkeologi Indonesia harus patuh kepada ketentuan perundang-undangan
yang berlaku mengenai pengelolaan warisan budaya”. Artinya seorang arkeolog
harus menaati prosedur yang ditetapkan dalm undang-undang mulai dari perizinan
terhadap pemerintah yang mengelola situs tersebut. Bila seorang arkeolog tidak
mematuhi ketentuan perundang-undangan maka ia akan dikenakan sanksi yang
termuat dalam undang-undang seperti yang termuat dalam Undang-Undang no.11
tahun 2010 pasal 103. Dengan demikian perizinan melakukan penelitian dan
penggalian Situs Gunung Padang perlu ditanyakan keabsahan perizinan tersebut.
Selain belum dilihat oleh Bupati
Cianjur, budyawan dan aktivis lingkungan pun menghimbau agar kegiatan
penggalian dihentikan karena dianggap tidak melibatkan warga, seniman, ataupun budayawan mengenai arah dan
tujuan penggalian ini. Padahal di dalam kode etik arekologi pasal 3
butir 4 disebutkan bahwa, “seorang ahli arkeologi ikut akitf bersama-sama
dengan anggota masyarakat lainnya untuk menjaga pelestarian dan pemanfaatan
warisan budaya". Artinya seroang arkeolog harus melibatkan masyarakat
dalam penelitian baik itu sebagai objek karena walau bagaimanapun situs
tersebut dijaga oleh masyarakat sekitar situs. Tanpa adanya mereka, Situs
Gunung Padang belum tentu dapat terawat. Oleh sebab itu, perlunya pendekatan
terhadap masyarakat sekitar situs agar tidak terjadi ketidakjelasan antar kedua
belah pihak. Bila perlu melibatkan langsung masyarakat dalam pemanfaatan Situs
Gunung Padang dengan cara menghormati pendapat masyarakat dengan tetap
berpegang teguh pada kaidah pengelolaan sumber daya arkeologi.
Walau keabsahan mengenai perizinan
belum jelas, Dr. Ali Akbar beserta tim penelitinya tetap melakukan penelitian
dan penggalian. Hal yang dilakukan terlebih dahulu yakni melakukan pemetaan
geologis, menggunakan georadar dan geothermal. Dari hasil tes tersebut di dapat
adanya struktur bangunan. Berawal dari hipotesa awal mengenai adanya temuan
strutur bangunan tersebut, akhrinya Dr. Ali Akbar beserta tim peneliti lainnya
melakukan pengboran terhadap Situs Gunung Padang. Hal yang dilakukan oleh Dr.
Ali Akbar selaku arkeolog sudah seseuai maupun tidak sesuai terhadap kode etik
arkeologi pasal 4 mengenai tanggung jawab terhadap teman sejawat. Dikatakan
sesuai dengan kode etik pasal 4 karena di dalam pasal 4 butir disebutkan bahwa,
“Seorang ahli arkeologi Indonesia harus bersikap toleran kepada arkeolog dan
ahli ilmu lainnya”. Bila melihat proses penelitian yang dilakukan oleh Dr. Ali
Akbar, beliau menjalin kerjasama dengan ahli-ahli lain di luar bidang arkeologi
pada timnya, seperti ahli sipil, paleosedimentologi, geologi, dan lain-lain.
Dr. Ali Akbar beserta timnya saling bertoleransi dengan menggunakan keahlian
masing-masing serta metode yang sesuai dengan bidang ilmunya demi mendapatkan
tujuan dari penelitian. Dikatakan tidak sesuai karena metode yang digunakan Dr.
Ali Akbar berserta timnya dianggap tidak seeuai. Di dalam surat kabar online,
arkeolog UGM, Daud Aris Tanudirjo, meragukan pemakaian bor dalam proses
penelitian Tim Terpadu Penelitian Mandiri Gunung Padang karena hasil penelitian
arkeologis dengan metode penggalian terkadang masih meleset (http://oase.kompas.com). Selain itu, Peneliti
Senior Arkeologi Nasional, Trauman Simanjuntak, mendukung pernyataan yang
disebutkan oleh Daud. Mengenai adanya balok-balok batu prismatik bisa jadi
karena sengaja disusun manusia untuk tempat persembahan. Sedangkan proses
pembentukan batu kekar kolam di Gunung Padang memang alamiah. Artinya Gunung
Padang yang dianggap memiliki struktur bangungan seperti piramida tersebut
tidak benar (http://oase.kompas.com).
Melihat dua pernyataan tersebut maka dapat diketahui bahwa Dr. Ali Akbar
sebagai seorang arkeolog seharusnya menghargai pendapat teman seprofesinya. Seharusnya
beliau dapat menerapkan kode etik arkeologi pasal 1 butir 4 menegenai
menghargai kebenaran ilmiah tanpa memandang siapa yang menyatakannya. Bila
beliau tidak mengindahkan pernyataan tersebut maka sanksi yang diterima bisa
saja sanksi sosial. Artinya beliau bisa tidak diikutsertakan dalam acara-acara
arkeologi. Selain mendapat sanksi sosial, beliau beserta timnya bisa saja dapat
dikenai sanksi mengenai sengaja merusak Cagar Budaya karena keabsahan
perizinannya pun belum jelas. Sanksi yang dikenakan sesuai dengan UU no.11
tahun 2010 pasal 105. Selain itu menurut Daud, penelitian Situs Gunung Padang
jangan hanya pada bidang-bidang ilmu tertentu, perlu bidang ilmu lainnya agar
mendukung kebenaran dari tujuan penelitian. Menurut beliau, kelemahan akademis
maupun pemerintah terletak pada ego sektoralnya, artinya hanya mementingkan
kepentingan sendiri atau kelompok tertentu dibandingkan dengan kepentingan
orang banyak (http://radarsukabumi.com).
Tentunya hal ini harus disesuaikan dengan kode etik arkeologi pasal 4 butir 4 mengenai
tangngung jawab terhadap teman sejawat yang disebutkan bahwa, “ Seorang ahli
arkeologi Indonesia harus mengutamakan kepentingan profesi dibandingkan dengan
kepentingan pribadi.”
Walaupun begitu Dr. Ali Akbar masih
melaksanakaan kode etik arkeologi yang telah ditentukan seperti kode etik
arkeologi pasal 6 butir 1 disebutkan bahwa, “Seorang ahli arkeologi Indonesia
harus memaparkan secara jujur kualifikasi dan kemampuannya dalam melasanakan
pekerjaannya”. Artinya beliau sanggup melaksanankan tugas yang diberi sesuai
dengan kemampuannya, hal ini dapat dilihat pada keseriusan beliau meneliti
Situs Gunung Padang walau banyak yang menentang beliau. Akan tetapi, seharusnya
Dr. Ali Akbar tidak seharusnya langsung menyetujui bahwa struktur bangunan yang
berada di Situs Gunung Padang tersebut ialah bangunan piramid karena dalam kode
etik arkeologi pasal 6 butir 3 disebutkan bahwa, “Seorang ahli arkeologi
Indonesia harus dapat mempertahankan prinsip kebenaran ilmiah tanpa intervensi
penyandang dana”. Secara tersirat dana yang diberikan digunakan untuk
membenarkan adanya keberadaan piramid di Gunung Padang. Tentunya hal ini
seharusnya tidak diperbolehkan karena sesuatu yang belum tentu kebenaranya
seharusnya diteliti dengan sungguh-sungguh bukan untuk membenarkan sesuatu
tersebut.
Bila hal ini terus menerus terjadi
maka dapat dikenakan sanksi mengenai kode etik arkeologi yang akan diserahkan
pada Majelis kode etik AAI yang sesuai dengan pasal 7 butir 2.
KESIMPULAN
Indonesia merupakan kaya akan
peninggalan megalitiknya. Salah satu peninggalan megalitik tersubut berada di
Jawa Barat, yakni Situs Gunung Padang. Situs Gunung Padang merupakan kompleks
punden berundak yang akhir-akhir ini dikaitkan pada piramid. Hal tersebutlah
yang membuat para peneliti khusunya arkeologi ingin meneliti kebenaran mengenai
isu tersebut.
Sebelum penelitian berlangsung,
harusnya seorangn arkeolog memperhatikan kode etik arkeologi yang berlaku. Pada
kasus Situs Gunung Padang terjadi pro dan kontra terhadap penelitian yang
berlangsung. Dikatakan pro dan kontra karena tidak sesuai dengan sistematika
penelitian yang ada, begitupula metode yang digunakan dianggap tidak sesuai
oleh beberapa arkeolog lainnya. Walaupun ada beberapa metode yang dianggap
sesuai dengan penelitian arkeologi. Selain itu, pada penerapannya arkeolog yang
meneleti Situs Gung Padang tidak begitu menerapkan kode etik arkeologi. Hal itu
terbukti dengan adanya pelanggaran yang tersirat pada sebelum peneleitian,
proses penelitian, dan sesudah penelitian yang dilakukan.
Guna mengantisipasi hal tersebut
terjadi lagi, kode etik arkeologi perlu direnungkan lagi agar benar-benar dapat
diterapkan. Selain itu, faktor egoisme dalam mementingkan kepentingan pribadi
harus dihindari agar kode etik arekologi tersebut dapat diterapkan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber
web:
http://www.tempo.co/read/news/2012/08/27/061425679/Gunung-Padang-dari-Geolog-Beralih-ke-Arkeolog
: Sabtu, 20 April 2013
http://www.tempo.co/read/news/2012/08/27/061425679/Gunung-Padang-dari-Geolog-Beralih-ke-Arkeolog
: Sabtu, 20 April 2013
http://oase.kompas.com/read/2012/03/31/10462717/Klimaks.Bantahan.Piramida.Jawa.Baratn
: Sabtu, 20 April 2013
http://www.tempo.co/read/news/2012/05/23/058405607/Bupati-Belum-Lihat-Izin-Penggalian-Gunung-Padang
: Sabtu, 20 April 2013
http://radarsukabumi.com
: Sabtu, 20 April 2013
Sumber
Pustaka:
UU
No. 11 Tahun 2010
Catatan
Kode Etik Arkeologi 2013